Pengemis, hidupnya lebih makmur daripada tukang sapu. Buktinya para gepeng alias gelandangan dan pengemis di Bandung lebih suka jadi pengemis daripada jadi tukang sapu. Pantes banyak orang berbondong-bondong dari kampung dengan modal baju rombeng datang ke kota Jakarta.
Mengemis memang menjajikan. Buktinya sudah banyak pengemis yg terkena razia dinas sosial DKI Jakarta yg ketahuan bohongnya. Bohong apa saja? Ada nenek-nenek dan kakek-kakek yang kedapatan menyimpan uang ratusan juta rupiah, ada pengemis yang mengaku di kampung rumahnya bagus, ada pengemis yang di kampung serba kecukupan, pokoknya banyak dan semakin banyak.
Saya juga pernah melihat pengemis gadungan alias pembohong. Saya melihat di daerah Cideng, Jakarta Pusat, tepatnya di lampu merah Cideng yang deket Holland Bakery itu loh. Suatu ketika saya sedang dalam perjalanan pulang dari kampus. Di situ saya melihat seorang laki-laki yang meminta-minta pada setiap pengendara mobil maupun motor dengan jalan agak dipincang-pincang-in dan membawa tongkat sebagai tumpuan jalan, bajunya lusuh, wajahnya juga nampak dibuat lusuh. Sumpah aktingnya jago banget. Saya perhatiin aja itu orang. Saya justru nggak merasa kasihan pada orang itu, tapi malah ada sesuatu yang lucu dengan orang itu. Pertama, kakinya dibalut (baca: diperban) kain warna putih kecoklatan. Balutan itu sampai bener-bener kencang, sehingga terlihat ujung kakinya memerah, sepertinya pembuluh darah di bawah balutan itu tidak mengalir. Kedua, saya melihat dia setiap hari, setiap saya jalan pulang dari kampus selalu melihat dia di tempat itu, jadi seolah-olah sudah menjadi rutinitas saya bertemu dengan pengemis itu. Ketiga, suatu ketika saya pulang dari kampus lumayan malam, habis nonton soalnya, lewat jalan itu juga. Saya dari arah harmoni, eh di situ tiba-tiba macet gara-gara ada seorang pengendara mobil tiba-tiba meninggal mendadak karena serangan jantung sepertinya. Seperti yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia biasanya, kalau ada insiden seperti itu malah jadi tontonan. Waktu saya perhatiin ke kerumunan orang-orang, saya melihat pengemis itu, ternyata dia bisa jalan secara normal, nggak pincang lagi. Gara-gara pengemis itu saya jadi berhenti, padahal awalnya nggak mau berhenti. Saya perhatiin aja pengemis itu. Beberapa saat kemudia dia jalan dan mengambil motornya yang diparkir di deket situ, lalu dia naik motornya dan pergi meninggalkan kerumunan orang-orang menuju jalan ke arah Grogol. Saya pun juga langsung tancap gas, ngikutin dia, saya perhatiin aja dia dari belakang. Lalu saya berkata dalam hati, "busyet ini orang bener-bener profesinya ngemis".
Sampai saat ini saya selalu bertanya-tanya dalam hati saya setiap ketemu dengan pengemis. "Dimana rasa malumu?" "Mengapa harus mengambil jalan hidup seperti ini?"
Pengemis oh pengemis. Engkau rela menjadi sampah demi seonggok uang yang kau tumpuk di kampung halamanmu. Engkau rela hidup dalam topeng ketidakberdayaan demi mendapatkan belas kasihan orang lain.
Wahai sahabatku yang rajin berderma. Sedekah adalah kebaikan sesama manusia yang diajarkan oleh Tuhan. Tapi apakah kedermawananmu itu harus membuat budaya ngemis ini makin merajalela. Ini adalah budaya yang tidak baik. Jangan biarkan anak cucu kita menjadi generasi pengemis. Menurut saya jika kalian ingin sedekah, sedekahkan pada panti asuhan, ke anak-anak yang tidak mampu sekolah padahal memiliki keinginan yang kuat untuk sekolah, dll. Masih banyak cara di dunia ini untuk menyedekahkan harta sahabat. Masih mau ngasih duit ke Pengemis?
(Tapi harus diingat kawan: TIDAK SEMUA PENGEMIS ITU BOHONGAN, ADA JUGA YANG BENAR-BENAR PENGEMIS. Saran saya adalah: LIAT-LIAT DULU ORANGNYA SEBELUM MEMBERINYA SEDEKAH)
No comments
Post a Comment